Powered By Blogger

Thursday 8 February 2018

Review Buku Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta

Sumber: http://marjinkiri.com/product/pak-tua-yang-membaca-kisah-cinta/
Ketika saya membaca sebuah novel, cerpen, atau barangkali puisi, selalu bermacam-macam diri saya menjadi lain. Seperti kita melupakan hal-hal bising dan terbawa pada alur cerita itu sendiri. Banyak orang-orang mengatakan perihal seseorang yang bekerja sebagai membaca buku di waktu luang. “Mereka adalah pekerja yang barangkali selalu mengasingkan diri dan selalu sendiri,” begitu yang saya kutip di kepala saya mengenai mereka, yang barangkali mereka jarang membaca buku. Selain mengenai tentang barang-barang produk atau seragam yang selalu melengkapi tubuh dua minggu sekali atau satu bulan membeli pakaian seragam sebanyak empat kali.
            Tidak, saya tidak menggeneralisir dan saya adalah orang yang lebih sendiri yang tinggi. Bukan seperti itu. Saya tidak begitu merasakan, saya berbeda dari yang lain. Hidup membaca buku-buku, atau barangkali selalu asing di mata orang-orang. Begitu yang saya paparkan tentang karakter dalam buku Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta, yang bernama Antonio Jose Bolivar Proano yang hidup di belantara hutan. Dan juga buku-buku yang selalu tentang cinta. Juga sendiri. Tidak perlu berpanjang-panjang bicara melalui kata bagaimana saya menemukan satu buku yang cantik sampulnya itu, serupa perempuan yang sedang menikmati kopi di kafe malam penuh kunang-kunang kota.
            Berjudul buku Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta, barangkali saya juga terbius oleh judul buku itu. Sebagaimana saya lebih menerima buku-buku yang menceritakan sebuah kisah cinta yang bahagia(bahkan saya lebih pro tentang kisah cinta atau menulis kisah cinta yang sedih dan menderita), atau sedih sekalipun. Atau mungkin kehidupan orang lain yang lebih sosial di suatu tempat. Pikiran saya bekerja, “Mungkin ini menceritakan sebuah Bapak Tua yang selalu membaca buku kisah cinta. Di rumah, atau di suatu perpustakaan tertentu.” Begitu yang saya dapatkan, buku ini adalah terjemahan dari novel bahasa Inggris. Yang bernama Luis Sepulveda sebagai seorang penulisnya. Juga pernah menjadi aktivis mahasiswa(di kampus saya banyak sekali mahasiswa aktivis yang selalu mengkritik suatu bentuk apapun) yang terbuang dan selalu masuk penjara setiap kritiknya tersebut subversif. Tetapi, sebagai saya yang seorang pembaca juga, selalu tenggelam pada kata-kata yang lebih menyuntik pembaca dengan bius yang tidak akan ditemukan di laboratorium Farmasi.[1]
            Juga beberapa kutipan yang saya temukan dan saya tulis di buku catatan yang benar-benar mendominasi hati:
-       
  -
Cinta itu ibarat sengatan lengau yang tak bisa dilihat tapi diburu oleh tiap orang(Hal.50).
-          -Seperti apa cerita Cinta itu?(Hal.50).
         
-Sekali berciuman, dan Cuma dengan istrinya seorang. Sebab ciuman adalah kebiasaan yang tak lazim bagi orang Shuar(Hal.66).
     
-Ngobrol membuat orang bisa saling bertatap mata(Hal.75).

Saya akan menceritakan siapa orang Shuar itu, di dalam bukunya, memang terdapat adanya adat atau orang daerah di hutan Amazon itu sendiri. Seperti sebuah suku-suku yang saya tangkap. Tetapi, ketika saya mencari dan meriset siapa orang Shuar itu, tak lebih ialah seseorang yang selalu berburu kepala manusia yang cukup mengerikan. Lalu kepala tersebut diawetkan sebagai jimat yang biasa mereka sebut Tsantsa. Suku Shuar, yang berasal dari Ekuador tersebut, selain mengerikan pada ritual budaya, di buku Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta, menceritakan suku Shuar yang lebih diceritakan sebagai seorang yang bekerja sama dan saling tolong menolong. Apalagi soal berburu binatang. Berbeda dari sejarah yang saya riset.
Lalu, karakter lain ialah seorang dokter gigi yang cukup menggeger bekerja di sebuah hutan belantara itu, Dr.Loachamin. Ia diceritakan betapa kesalnya sekali ia berhadapan dengan pasien yang selalu mengeluh kesakitan, ketika tangan pasien menarik tangan seorang dokter tersebut yang dikatakan adalah seorang yang kurang ajar pada halaman pertama. Lalu seterusnya jika bertugas, datang menggunakan kapal yang bernama Sucre bersama Nahkoda nya.
Karakter yang benar-benar sungguh berbeda dari kehidupannya, adalah Pak Walikota, atau biasa disebut si Gendut yang berkeringat. Dahulu ia tinggal di kota, tetapi ia dipindahkan karena perlakuan tersebut menggelapkan uang atau biasa disebut korupsi. Tetapi, ada suatu kepentingan lain yang dinamakan kapitalisme lahan hutan dari seorang tamu Amerika yang datang. Seorang Pak Tua, Antonio Jose Bolivar Proano sangat anti dengan hal-hal modernitas dan ucapan-ucapan dari orang-orang kota. Lalu Pak Walikota meminta Antonio untuk angkat kaki dari rumah dengan alasan tanah tersebut adalah milik negara di hutan Amazon.
Dr. Loachamin, selalu menawarkan beberapa buku-buku untuk Pak Tua, yang mengharuskannya untuk dibaca. Lalu, ia membaca beberapa kata tentang buku yang mengisahkan kisah cinta manusia. Di sebuah gubuk maupun di waktu perjalanan petualang. Tetapi, hal yang menurut saya membingungkan, ketika isinya tersebut lebih kepada petualangan ketimbang seorang karakter yang hidup dengan buku-buku kisah cinta itu sendiri. Sebuah judul yang terbius, dan mampu menipu saya saat membacanya. Tetapi, sebagian begitu baik untuk kamu baca dan benar-benar harus membaca karya dari Luis Sepulveda ini. Selain latar yang tidak biasa pada buku novel yang menceritakan latar tempat perkotaan. Namun, buku tersebut menceritakan latar tempat sebuah hutan Amazon.
Di akhir bagian cerita, yang saya katakan pada paragraf, Pak Tua yang tidak menyukai orang-orang Amerika itu, adalah tak lain kepentingan sebuah pasar yang saya katakan adalah kepentingan kapitalisme lahan hutan yang diperbincangkan dengan Pak Walikota berkeringat itu. Yang membuat seorang Pak Tua itu tidak menyukai sosoknya, ketika seorang tamu Amerika masuk tanpa izin ke gubuk Pak Tua dan mengambil sebuah potret dirinya bersama istrinya,
Pikiran mereka, sebagai orang-orang asing, datang ke tanah hutan dan mengkapitalisasi keadaan dengan satu tujuan: agar cepat kaya. Dan ini terdapat pada halaman tiga puluh sembilan, dengan wajah-wajah orang yang tak bermoral ketika datang.

Kelebihan:

-
Sampul yang menarik ketika kau menemukan satu buku yang benar-benar ingin kau baca. Berupa gambar daun-daun khas hutan dan ada dua mata berwarna kuning. Antara mata binatang atau mata manusia penduduk setempat yang masih mengagungkan adat.

-Kau akan terbius pada judul buku yang benar-benar dirimu sejati. Sebuah cinta manusia di kehidupan sepanjang usia menemani dan berjalan hingga putus takdir kehidupan itu. Sebagai sosok Pak Tua yang barangkali kau akan mengira, bahwa ia pandai merangkai dan membaca karya-karya buku bertemakan cinta.

-Buku versi terjemahan, yang diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, yang diterbitkan oleh Marjin Kiri. Penulis buku yang mungkin kau akan menemukan di sebuah jalur perbukuan indie, termasuk Indonesia.


Kekurangan:

-
Lebih kepada cerita petualangan, bagaimana sebuah perjalanan cerita dan orang-orang adat mempertahankan wilayah kehutanan. Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta begitu terbius. Dan kau akan mengira, mungkin buku ini romantis, penuh melankolis yang menceritakan seorang Pak Tua yang hidupnya dengan cintanya. Tetapi, kadar soal cinta itu sedikit.

-Butuh beberapa kali mencari, tentang kehidupan orang-orang beradat di hutan yang bisa kau temukan dan bahkan kau belum mengetahui itu sama sekali.


            Itulah yang saya nilai dari isi buku tersebut, meskipun terkadang kesalahan akan ada nantinya ketika seseorang pengunjung membaca hasil review buku Sastra ini. Barangkali suatu adat yang juga mereka paling pandai dengan seluk-beluk budaya adat di luar negeri selain di Indonesia. Atau memang sejarahwan atau apapun dan saya tidak mengetahui itu. Dan, hasil review ini mampu ditangkap dan sebagaimana buku yang saya nikmati di hari-hari pagi atau sedang hujan deras berakhir rintik-rintik.


Penulis Buku: Luis Sepulveda
Penerbit: Marjin Kiri
Penerjemah: Rony Agustinus
Tebal: 133 halaman




[1] Kutipan dari sebuah cerita pendek yang saya terbitkan di Storial.co dan Penakota, Pengunjung Kedai yang Sedang Menelepon Anaknya.. 

Monday 9 October 2017

Tidak Berkata-kata



Mungkin sebagian orang, menganggap diriku adalah orang yang tidak mau membuka suara. Bagi sebagian, aku bebas bersuara dan bisa paham apa diriku sesungguhnya pada mereka. Barangkali, atau kau, menganggap aku sedang bercerita tentang masa kecilku hingga sekarang. Aku menceritakan diriku yang pernah jatuh cinta oleh seorang perempuan di masa sekolahku. Waktu itu Sekolah Dasar. Aneh sekali, masih kecil saja aku sudah jatuh cinta. Barangkali, hormon ku memang naik drastis. Tidak tahu mengapa, aku bisa berubah dengan cepat. Lingkunganku, aku lebih banyak diam dan mereka terus mengejekku. Apapun bentuknya. Kali ini, sungguh aku tertawa untuk masa ku sekarang. Aku menangis kala itu. Ya, menangis dan cengeng sekali.
            Paling tidak, aku tidak ada bedanya dengan dirimu yang lebih membanggakan kau nakal, kau bisa berkelahi. Demikian aku, aku pernah berkelahi lantaran aku selalu di ejek mereka dan mereka mengasingkanku. Perempuan yang membuatku jatuh cinta itu, tidak mau kepadaku dan lebih banyak mendiamkan hadirku. Ia pernah bilang dengan gamblang, jika masa sekarang sungguh perkataan itu tidak wajar sekali untuk diriku. Barangkali kau, yang pernah atau merasakan masa-masa ku. “Kau cupu. Dan kau tidak laki-laki.”
            Aku selalu jatuh cinta dan selalu sakit hati. Namun ke semua, aku tidak berkata-kata. Aku jatuh cinta oleh perempuan lain yang mau menerima saya sebagai pacar. Namun tidak lama hubungan itu putus. Aku sakit hati. Tapi, lebih banyak aku tidak berkata-kata ketimbang aku berkata-kata. Lebih baik, jalanku, menulis imajiku sudah membawaku pada liang berkata-kata. Masa-masaku yang sekarang, aku sedang berubah diri. Aku ingin lebih banyak berkata-kata ketimbang diam. Mereka mengucap itu, karena aku adalah pendiam dan cupu. Jarang sekali berbicara. Berkelahi pun terpaksa jika rasa sakitku sudah melambung tinggi dan sudah di batas kadar yang tidak amat wajar. Membawa luka memar di sekujur wajah ke rumah.
            Waktu itu, pacarku berbicara mengenai hal lain. “Paling tidak aku beruntung memilikimu.”  Ia bilang, bahwa aku berbeda dengan lelaki lain. Katanya, ia tidak suka lelaki liar dan lebih suka lelaki yang kalem dan tidak bermacam-macam. Paling tidak, mengembangkan hobi yang lebih bermanfaat. Tapi kata itu sudah palsu, nyatanya ia, dahulu, berpacaran dengan lelaki liar ketika ia meninggalkanku. Sekarang tidak ada kabarnya. Kabar yang terakhir, ia sedang menulis status di media sosial tentang rasa sakitnya. Ia tidak berkata-kata kepadaku lagi.
            Aku sedang tidak ingin berkata-kata tentang itu. Paling tidak, aku pernah tidak mau keluar dari penjara hidupku yang amat merantaiku. Sama sekali, aku jarang sekali memiliki teman, tentunya.

_____

Aku sedang berkata-kata pada malam acara Sastra di Universitas Indonesia beberapa bulan yang lalu. Pihak fakultas Sastra mengundangku sebagai perwakilan penyair. Ia tahu aku sudah menulis dua buku. Tapi dia berharap aku mengasihkannya secara gratis. Aku berkata-kata tentang puisi yang dimana, aku terpenjara dengan orang-orang yang selalu jahat dan selalu menghina. Barangkali, mereka mendengar bahwa aku sedang ingin bunuh diri. Resahku akan berujung bunuh diri di hari esok atau bahkan hari ini waktu pulang lekas dari acara itu.
            Aku tidak berpacaran kala itu. Sudah banyak rasanya aku lebih memilih untuk tidak bermain cinta dulu. Ayahku berkata, “Anak Universitas Indonesia itu cantik-cantik. Apalagi jurusan Sastra Internasional.” Ya, aku melihat mereka. Mereka cantik sekali. Laki-laki sepertiku mampu menyalakan kobaran api untukku sendiri. Aku tetap menjadi pendiam dan hanya berteman kepada buku. Aku selalu menanamkan kata-kata dari salah satu penyair yang hilang itu, Apa gunanya membaca buku kalau mulut kau bungkam melulu. Itu membuatku tersentak dan membuatku geram sendiri. Aku tidak berbicara mengenai buku yang aku baca kepada teman-temanku yang jarang sekali membaca buku.
            Barangkali aku bertema novel, buku yang selalu kubawa setiap perjalanan maupun ke kampus. Dan puisi yang selalu kutulis. Selalu berimajinasi bahwa aku sedang bersama perempuan yang lebih baik lagi. Nyatanya, dunia sudah mencekamku bahwa perempuan mana pun banyak yang tidak mau denganku. Dengan alasan aku tidak modis dan aku tidak memiliki uang yang bisa membiayai mereka. Aku rindu pada mantan kekasihku yang pergi dan lebih banyak menerimaku sebagai lelaki sederhana. Itu kala sekolah. Sekolah memang selalu penuh dengan hal jatuh cinta ketimbang di masa kuliah sekarang.
            Trauma, kau tahu, seperti pohon yang masih menyisakkan luka bekas sayatan golok yang gagal untuk ditebang. Aku trauma jatuh cinta. Kepada Ayah, aku pernah berkata itu, dan juga teman yang satu paham denganku yang sangat baik mau menerimaku. Barangkali sama jawabannya dengan Ayahku. “Lebih baik kau menikah saja lah. Daripada kau sakit berpacaran itu. Kalau menikah singkat. Perkenalan, lalu langsung saja beberapa bulan menikah.”
            Perihal lain, aku hanya dekat dan hanya pergi dengan luka. Sama saja seperti pacaran bukan? Dekat dengan seseorang namun tidak jadi kau miliki, dan pergi dengan luka? Sama saja bukan? Aku menganggap bahwa mantanku sudah banyak. Aku tertawa. Padahal, resminya, aku hanya punya beberapa mantan. Lainnya, adalah dekat dan dekat namun tidak jadi berjalan hubungan.
            Terkadang, hati memang lelah untuk mencintai siapa-siapa yang mungkin kau layangkan pada pikiranmu, bahwa kau ingin bahagia. Tapi, aku lain. Aku tidak berkata-kata tentang itu. Aku sama sekali tidak ingin mengucapkan, bahwa aku harus banyak berkata-kata jika ingin mendapatkan cinta seorang perempuan. Barangkali tidak. Sekarang, ada seseorang yang sedang menyukaiku namun aku diam. Di kampus. Namun aku tidak mengetahui itu dengan pasti.

_____

Tapi aku benci dengan hujan. Tapi aku kadang menyukai. Aku terjebak kala aku berjalan sendiri di sebuah tempat mall kota. Aku sedang berjalan untuk memotret objek lewat kameraku. Tapi tidak lupa aku membeli satu buku. Perempuan itu, yang selalu di bayanganku, tidak tahu bagaimana ia gerangan dan bagaimana ia mau berjuang duluan. Aku sudah malas sekali berjuang duluan. Tidak berkata-kata. Tapi memang begitulah adanya, aku memang terkadang rumit dan terkadang sulit sekali berbicara dengan seseorang yang selalu mengintimidasiku melalui kontak mata.
            Paling tidak aku berterima kasih. Siapapun itu, cintailah aku dengan tanganmu dan jalan yang sederhana. Tegurlah aku yang tidak berkata-kata ini, untuk mendengarkan aku berkata-kata kepada kau. Masa laluku adalah masa lalu. Dengan begitu, aku sudah berada di jalan yang aman. Aman untuk mencintai jika kau atau barangkali perempuan itu, mau mencintaiku duluan dan mau membuka kepercayaanku duluan.
            Tetap hujan. Aku sedang menunggu di kala langit bercerita yang selalu berbuah sedih. Hujan adalah sedih. Orang-orang lebih banyak berlari atau mungkin meneduh di atap yang lain. Mereka yang sedang di dalam mall, surga bagi mereka yang sedang berpesta makanan. Tapi langit memang selalu membicarakanku untuk berkata-kata kepadanya. “Kalau aku tidak berkata-kata, bahwa itu aku mencintai mereka. Orang-orang. Terutama dirimu.”

Oleh: Aflaha Rizal
             
           

Sunday 9 July 2017

Sesuatu Kata Yang Lain Dari M. Aan Mansyur


(Aan Mansyur, saat sedang menjelaskan materi tentang Menulis Kisah dalam Sajak di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu, 08 Juli 2017).

“Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang…” Begitulah saat Aan Mansyur, yang disapa akrab Bang Aan, membacakan puisi yang berjudul Batas dari salah satu buku Tidak Ada New York Hari Ini. Pembacaan puisi tersebut, dari salah satu hadirin yang bertanya juga mengabulkan permintaan untuk membacakan salah satu puisi yang akan terdengar dari suara milik Aan sendiri.
            Beliau yang datang dengan memakai kacamata dan kemeja putih, menjelaskan tentang kepenulisan puisi dari setiap kisah-kisah hidup. Juga menulis yang Aan terangkan kepada audiens yang rata-rata anak muda berdatangan, adalah salah satu seni berpikir dalam kepala. “Seni berpikir itu adalah, yaitu bagaimana kita menuliskan sesuatu dan memandang lain cara mengungkapkan,” ujar Bang Aan. Bahasa yang di paparkan, merupakan bahasa-bahasa lain. Aan sendiri, terdengar berat kosakata saat menjelaskan materi dan menggunakan konsonan kata dan berupa majas-majas yang hanya anak Sastra Indonesia yang mengetahui. Namun, membuat audiens beberapa mengerti tentang percakapan Bang Aan Mansyur tersebut.
            “Seorang penyair, menurut saya adalah pekerjaan tentang meragukan diri sendiri.” Ucapnya lagi. Yang secara langsung mengemas sebuah kata penyair sebagai pekerjaan meragukan diri sendiri melalui sebuah kata-kata. Menurut Aan, setiap puisi-puisi yang pernah Aan buat, adalah mengundang sebuah pertanyaan dan kemudian menjawabnya. Tentu, masa kecil Aan yang setiap bangun tidur, memiliki dua puluh pertanyaan yang harus di jawab. Sebagaimana puisi, menurut Bang Aan, adalah cara lain mengungkapkan atau menjawab hal-hal sekitar dari pandangan.
            “Puisi juga bukanlah sesuatu yang indah dari kata-katanya, tapi ada cara lain yaitu bagaimana kita mengungkapkan sendiri dan memiliki cara pandang lain,” kemudian Aan Mansyur memaparkannya kembali. Cukup ramah beliau menyampaikan materi, meskipun beliau adalah seorang yang pendiam dari luarnya. “Kalau kamu, belum mengenal Mas Aan, pasti kamu menganggap saya ini adalah orang yang pendiam. Saya cerewet tentunya, jika kamu sudah mengenal saya.” Kemudian menjelaskan lagi diselingi tawa oleh hadirin yang mendengar.
            Metafora sendiri, dari sebuah kata-kata, Aan mengucapkan bahwa Metafora dalam kata bukanlah sesuatu kata yang indah. Melainkan ada beberapa pertanyaan maksud lain dari sebuah kata Metafora. “Dan saya melihat kata Metafora di bahasa Inesia, dan bahasa Latin sungguh berbeda. Di bahasa Inesia, Metafora adalah sebuah kata-kata indah yang kita ucapkan, atau yang mau kita tuliskan. Tapi maksudnya, bukan seperti itu,” ujarnya, dengan pengucapan kata bahasa Indonesia dengan Inesia karena berdarah Bugis tersebut. “Dalam contoh, misalkan dia cantik, kata Metafora bermaksud, kenapa dia cantik?” Aan memberikan pertanyaan tentang Metafora. Dan membuat hadirin turut mengerti akan kata Metafora yang selalu dikaitkan dengan kata-kata yang indah pada buku Pelajaran Bahasa Indonesia.
            Acara yang bertempatan di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Sabtu kemarin, merupakan hal yang tepat dalam mengusung acara hingga mengambil sebuah tempat pada arena kesenian adat rumah yang terdapat di beberapa gang-gang Kompas Gramedia dan Tribun News tersebut. Acara yang memiliki kuota terbatas untuk bertemu dan mendengar perbincangan Mas Aan dalam penulisan puisi, sesuatu hal lain dimana kata-kata Mas Aan menjadi cukup bekal dalam ilmu yang ingin menjadi penulis apapun. Puisi, Cerita Pendek, ataupun Novel.
            “Jika saya puitis, tentu kamu harus melihat hal yang lain. Bahwa masih ada yang lebih puitis dari saya, contohnya yang pembuat film-film. Itu, tentu lebih puitis dari saya,” ungkapnya lagi. Acara yang ditutup pada jam 18.00 WIB cukup antusias ketika selesai hadirin mengantri untuk meminta tanda tangan dari setiap karya Aan Mansyur, dan juga hanya untuk sekedar foto bersama.
            Aan Mansyur, salah satu penulis puisi dari kota Bone, Sulawesi Selatan, dan bekerja di sebuah Pustakawan Katakerja di Makassar. Karya-karya beliau antara lain: Aku Hendak Pindah Rumah(2008), Cinta Yang Marah(2009), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita(2012), Kukila(2012), Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia(2014), Melihat Api Bekerja(2015), Tidak Ada New York Hari ini(2016), Sebelum Sendiri(Jual Buku Sastra, 2017), Cinta Yang Marah(2017), dan Perjalanan Lain Ke Bulan(2017).

Penulis: Aflaha Rizal

 (Gue sendiri, bersama salah satu makhluk dalam setiap kata-kata yang mampu memberikan pencerahan dalam kata-kata setiap yang mau membuat karya, M. Aan Mansyur).




                             (Dua buku karya M. Aan Mansyur yang ditandatangani olehnya).







Monday 3 October 2016

Puisi


Tema: “Pers Sebagai Pahlawan”
# Great3rdCOMPETITIONFEUNJ

Acara begitu ramai, mereka begitu kagum oleh salah satu seorang Puisi yang bernama Aldi. Seorang sekaligus lebih banyak mengeluarkan beberapa kata-kata dalam bentuk puisi. Puisi dari hatinya sendiri, atau puisi di kehidupan sosial. Dari mereka, lebih banyak menyukai puisi Aldi yang lebih banyak membicarakan tentang Sosial. Kemiskinan, Pengangguran, atau angka kematian dalam hidup.
            “Oke! Ini salah satu karya kumpulan puisi yang berjudul ‘Tempat dan Panjang’. Boleh diceritakan sendiri maksud dari arti itu, dan kenapa judulnya seperti itu?” ucap seorang Pemandu Acara. Seorang wanita memakai kacamata dan rok hitam setengah lutut beserta T-shirt putih.
mic itu mulai ditempelkan di bagian bawah bibirnya. Menjelaskan buku Puisi yang baru diterbitkan satu bulan yang lalu. Namun baru hari ini, Aldi diundang dalam sebuah Talk Show Sastra di kota Surabaya. Khusus untuknya yang banyak sekali orang terkagum-kagum dengannya, seorang Penyair Puisi yang selalu dibaca lewat radio oleh penyiar, dan diteribkan di surat kabar maupun di website blog Aldi sendiri. Sosok Aldi yang bertampang senyum manis itu baru saja lulus sekolah SMA. Semenjak kelas 3 SMP ia mengetahui sebuah puisi, lalu di kelas pertama SMA Aldi mulai merambah di dunia penulisan Puisi.
“Jadi buku itu menceritakan sosok saya sendiri. Saya punya tempat yang tidak pernah saya sadari. Nah, yang tidak sadarnya itu, saya punya tempat hidup yang begitu panjang. Ciri-cirinya kayak puisi ‘Menjelas Arti’, di bagian halaman lima. Itu dijelaskan bagaimana ciri-ciri cinta menurut manusia diluar sana. Karena bagi kita sendiri, kita masih bingung walaupun kita sudah jalanin sama pasangan kita. Dan itu salah satu tempat  hidup yang panjang, ya itu, Cinta bagi mereka yang menjalankan. Juga yang saya jalankan.”
            Sudah dua buku puisi yang sudah diterbitkan. Sebagai penulis puisi produktif, kepingan hidup selalu Aldi cari untuk mendukung puisi-puisi yang terus dibuatnya. Puisi yang selalu ingin dia jadikan hidup sebagai dunia bagi orang-orang yang merasakan keresahan lewat bentuk Syair puisi.

                                                                        _____

“Mas, Aldi. Boleh minta waktu untuk wawancara mengenai buku puisi terbaru Mas?” seorang wartawan yang menunjukkan kartu Pers Media Indonesia itu menepuk pundak Aldi dari belakang. Lantas, Aldi tersenyum. Terbuka kepada wartawan yang hadir untuk meminta waktunya yang hanya sebentar. Aldi mengangguk, dan seorang wartawan itu menjawab, “Makasih, Mas.”
            Pertanyaan demi pertanyaan langsung masuk ke bagian buku terbarunya. Aldi menjelaskan dengan terus menatap seorang wartawan berambut klimis itu. Terlihat begitu rapih dengan mata yang seakan-akan memiliki pancaran cahaya disana. Yakin sekali, sosok itu mendukung lekuk senyumnya yang mengundang lewat wajahnya. “Berapa lama proses pembuatannya, Mas?” tanya seorang wartawan itu lagi. Aldi mengangguk, memamerkan buku puisi terbarunya ke hadapan wartawan yang hanya satu orang. “Ini proses-nya cuman dua minggu saja. Tapi selebihnya, penerbit yang memberikan waktu kapan buku saya akan terbit.” Jawab Aldi kemudian.
            Prestasi yang membanggakan bagi Sastra Indonesia, Aldi selalu bertemu dengan orang-orang hebat diluar sana. Seperti Seno Gumira Adjidarma. Cerpenis yang melalangbuana namanya lewat kata-kata beserta alur ceritanya. Dan Penyair yang pernah Aldi temui. Hingga nama Aldi masuk sebagai Penyair muda di Indonesia. Tak begitu disangka, orang-orang banyak yang ingin tahu tentang Aldi. Seorang anak muda yang menuliskan kata-katanya yang tak pernah orang lain pikirkan. Ide dari kepalanya itu tak pernah Aldi pikirkan. Langsung menulisnya berupa kata-kata keluar bebas mengarungi dunia Puisi-nya.
            “Mengenai Mas Aldi yang sebagai seorang Penyair Muda Indonesia. Bagi Mas sendiri seperti apa, tentang Mas sebagai seorang Penyair Muda?” tanyanya lagi. Tinggal satu pertanyaan terakhir lagi yang akan selesai. Diluar, ada dua wartawan lagi yang sedang menunggu. Dan Aldi segera cepat-cepat menyelesaikan waktunya.
            “Gimana, ya? Sebenarnya, sih, saya nulis Puisi hingga diterbitin itu gak disangka aja orang banyak yang baca, dan kalau sebagai Penyair Muda itu, diluar sana banyak Penyair yang lebih baik dari saya. Yah… Mungkin itu bonus dari saya. Dan saya harus lebih produktif menulis terus.” Wajah Aldi tersenyum kembali.
            “Tertarik ingin buat Novel? Ataupun Cerpen?” pertanyaan terakhir mulai tiba.
            “Pengennya, sih, Novel. Tapi menceritakan sosok seorang Penyair juga. Dan alur ceritanya itu akan saya selipin puisi dari sosok yang dibuatnya. Kebetulan saya sebagai penulis puisi, saya mau mempertahanin di dunia puisi saya dulu. Karenanya, ada puisi yang lain juga yang ingin saya selesaikan untuk cadangan buku selanjutnya. Yah… Mudah-mudahan puisi saya bisa diterima lagi dan dicintai lagi sama masyarakat Indonesia sana. Setelah buku baru saya yang terbit.”
            Ketika puas seorang Wartawan itu berhasil mengulik buku terbaru Aldi. Sosok seorang wartawan itu bernama Wijaya. Jabatan tangan pertanda selesai, Aldi memberikan satu buku padanya secara gratis. Beserta tanda tangannya. “Terima kasih, Mas, karya ini akan saya kenang.” Senyumnya lantas pergi meninggalkan ruangan belakang panggung.
            Dua wartawan yang meminta waktunya, segera Aldi selesaikan. Pertanyaan yang berbeda, namun masih sama dengan keterkaitan oleh buku terbarunya. Dan sosok sebagai Penyair Muda di Indonesia.
                                                            _____

Wartawan adalah sosok seorang pahlawan bagi Masyarakat. Tentu saja, seorang wartawan atau yang disebut sebagai kuli tinta, atau seorang reporter TV yang sama-sama menjalankan tugas Jurnalistik-nya, tak akan masuk nama Aldi di sebuah koran Media Indonesia yang sedang dibacanya. Membaca sekilas rangkaian Talk Show di Surabaya dan mengundang Aldi sebagai pembicara sekaligus membicarakan buku barunya. “Acara itu ramai didatangkan oleh penggemar karya seorang penyair muda yang baru lulus SMA ini. Berprestasi yang tengah dijalankan, tentu belum merasa puas, dan terus ingin bersama puisi sebagai kehidupan bagi mata masyarakat.”
            Isi bagian berita yang dibacanya, membuatnya tersenyum sendiri. Tanpa seorang wartawan juga, nama Aldi tidak akan dicantum di sebuah berita koran. Atau dikenalnya di mata masyarakat mengenai tentang dirinya. Tanpa wartawan, segala puisi yang dibuatnya juga tak akan sampai ke mata masyarakat. Yang mengulik bagian-bagian puisi Aldi yang ditulisnya.
            Disamping bagian kanan, selepas membaca artikel tentangnya, buku barunya terpajang disana. Senyum pun merekah kembali di wajah Aldi yang terus begitu terkembang. Berkat bakatnya yang tanpa disangka memilah sebuah kata-kata mampu membuatnya seperti ini. Juga bantuan dari wartawan Media yang membesarkan namanya sendiri. Buku terbarunya dari karya seorang Penyair Muda. Karya dari seorang yang umurnya masih belasan tahun, namun bisa berada di bagian penulis maupun kritikus sastra profesional di Indonesia. Dan namanya, mungkin akan dikenang saat Aldi meninggalkan dunia. Meninggalkan puisi yang ditulisnya sebagai memory kehidupan untuk orang-orang yang kagum dengannya bersama puisinya.
            Koran itu mulai dilipat, membacanya pun telah selesai. Menempuh pendidikan lanjutan sebagai guru sebisa mungkin akan terus dijalankan sebagai seorang penulis puisi. Menulis sudah tidak bisa dihilangkan, dan Aldi terus mempertahankan di dunia kepenulisannya. Sebuah buku tulis kosong mulai dipandanginya. Dan bolpen hitam yang melingkari di bagian jarinya. Diputarnya, lalu tangannya bergerak menulis puisi yang ditulisnya. Puisi tentang seorang Wartawan.

Seorang Kuli Tinta punya hidup, atau jendela
mata mereka sendiri sebagai makanan hangat
untuk menatap sosok yang akan ditulisnya
dalam surat kabar esok terbit.
Pahlawan hidup, tanpa bisa makhluk berbentuk
menjatuhkan harga dirinya, atau mengoyahkan
bagian hatinya sendiri yang terus usaha dihancurkan.

Tulisan cerpen ini, dalam rangkaian acara kompetisi yang diselenggarakan oleh @Econochannel dengan hastag lomba #GREAT3rdCOMPETITIONFEUNJ dari UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.


           

Sunday 2 October 2016

Untuk Mereka

 Tema: “Pers Sebagai Pahlawan”
#Great3rdCOMPETITIONFEUNJ

Pemberitaan kemarin salah satu berita yang membuat aku tegang, sekaligus takut. Coba saja, aku meliput sebuah kejadian konflik kerusuhan ‘Tawuran’ antar warga juga anak muda. Genggaman tangan untuk mengambil gambar tak lepas melihat ke arah lain. Kalau-kalau ada benda melayang yang nyasar menimpaku. Aku seorang wartawan yang bekerja di surat kabar Media Indonesia. Sekaligus Cerpenis yang selalu ku isi di surat kabar tempat dimana aku bekerja.
            Kebetulan, selama aku menjalankan profesi sebagai Jurnalis selama lima tahun, aku begitu memiliki pengalaman yang begitu ganda. Mendapat pekerjaan seperti ini, juga tanda pengenal Pers bernama diriku sendiri, Aryo. Pengalaman pertama ketika aku bertemu musisi hebat dari mancanegara, yang manggung di Indonesia. Menulis berita tentang mereka memang sudah menjadi setiap hari dimana aku selalu menjalankan aktivitas bekerja seperti ini. Dan selalu membuat berita yang baik untuk menyegarkan mata masyarakat saat mata mereka akan membaca informasi di surat kabar yang terbit keesokan harinya.
            Suara siren Polisi berdatangan, massa itu kabur entah kemana. Hanya aku sendiri, yang mengambil gambar dari kamera, juga menyiapkan isi kepala untuk merangkai berita. “Kamu wartawan dari media mana?” ucap salah satu Polisi berbadan tegap. Berwajah tegas. Juga suara intonasi yang terdengar begitu di segani orang. Daritadi, aku hanya diam, fokus kepada mereka yang kabur saat bidikan kamera berhasil mengambil gambar untuk melalui jalur seleksi. “Saya dari Media Indonesia, Pak,” jawabku, memperlihatkan kartu tanda pengenal diriku sendiri. Sosok polisi itu menganggukan kepalanya, lalu mengangkat HT dan berbicara kepada rekannya untuk memberitahukan tempat kejadian.
            “Mereka kabur. Entah kemana. Jalanan berantakan, bekas-bekas batu yang mereka lempar berbekas di jalan aspal. Sebagian ada yang ngelempar bom Molotov.” Ucapnya.
            “Disini saya sedang mengejar sebagian yang lain. Yang ikut terlibat. Mereka berpencar.”
            “Saya disini mengamankan keadaan.”
            Aku mulai mengikuti langkah sosok polisi berbadan tegap itu. Bernama Julianto yang sedang mengambil beberapa seperti batu-batu, dan pecahan beling dari botol. Aku menulis beberapa barang bukti yang sedang dipegangnya. Dan suara HT itu terdengar kembali. Mengagetkan sosok seorang Julianto itu dengan cepat dan tanggap menjawabnya. “Bagus, bawa kesini orang yang sudah berhasil ditangkap. Kita mintai keterangan!” suara tegasnya masuk ke telinga pendengaranku.
            Tak menunggu beberapa lama, mobil polisi yang katanya sempat berpencar itu datang. Membawa dua orang yang berhasil ditangkap itu. seorang polisi bernama Julianto, berjalan dengan tegap. Menghampiri dua orang itu, lalu segera diintrogasi ditempat. Aku dikerumuni oleh lima wartawan. Sebagian wartawan dari Media Televisi. “Kamu asal mana? Masalahnya kenapa bisa terjadi seperti ini?” tanyanya kepada dua orang itu. Terlihat menundukkan kepalanya. Keduanya itu hanya diam membisu.
            Aku bersiap untuk mencatat jawaban dari dua orang yang berhasil ditangkap. Terus ditatar berupa pertanyaan dari Polisi, mereka akhirnya menjawab juga. “Saya asal dari gang sana, Pak. Gak jauh dari tempat kejadian.” Kata seorang itu berpakaian berwarna biru. Satunya, memakai baju putih hanya diam.
            “Kenapa bisa terjadi ini?”
            “Saya kelompok preman yang selalu buat masyarakat sini resah, Pak,” jawabnya lagi.
            Catatan jawaban dari seorang yang tertangkap bisa aku jelaskan melalui rangkai berita. Sudah jelas keduanya itu, adalah seorang preman. Dari kartu tanda penduduk yang dilihat polisi. Polisi juga menggeledah seorang preman yang memakai baju putih. Terbukti menyimpan sabu di kantong celananya. Mereka keduanya langsung dibawa. Dan aku pergi ke suatu tempat, menyelesaikan pekerjaan ini. Menulis berita dan memulai dari paragraf awal.
            Aku melamun memandang tulisan berita yang setengah kukerjakkan. Takut ada yang salah dalam memilah kata, atau kata-kata yang berujung typo. Aku selalu mendapat tanggapan dari bagian Editing, melihat tulisanku ada yang salah ketik. Mereka begitu jeli, melihat seluruh tulisan berita yang kutulis dan tidak hanya aku, beberapa wartawan yang bekerja juga merasakan hal yang sama. Menulis berita sudah menjadi bagian hidup, sebagai pekerjaan mulia. Juga seperti menulis cerita berupa cerpen yang juga ikut terbit di rubrik hari Minggu harian Media Indonesia.
            Dan mereka, masyarakat. Mereka selalu butuh informasi dari beberapa berita yang selalu muncul. Berita sosial, berita hukum, berita kriminal, berita musik, atau berita lainnya. Hidupku selalu menuruti dan melayani mereka. Sebagai pahlawan untuk dunia. Sadar, bahwa pekerjaanku memang benar mulia, dan benar pahlawan. Kusadari kata-kata itu dari beberapa artikel mengenai sosok seorang Jurnalis, atau seorang kekasihku sendiri, Melly. Yang bekerja di suatu perusahaan Bank Dunia.

                                                                        _____

Tempat café di Jakarta begitu lengang, sebentar-sebentar aku melihat beberapa pajangan figura mengenai tulisan seperti kata motivasi hidup. Atau motivasi dalam kopi berbagai macam rasa-rasa. Memang jatahku libur sekarang, namun aku menggantikan Yusril, salah satu bagian wartawan lapangan yang mendapatkan jatah untuk meliput café yang selalu ramai di mata masyarakat yang selalu mereka kunjungi. Aku menerimanya, dan aku ditemani Melly, karena aku yang mengajaknya. Melly tidak repot jika aku tinggal sendirian yang sedang menikmati kopi disana. Isyarat kepalanya menandakkan bahwa aku harus melaksanakan tugas kerjanya. Dan aku pergi menuju bagian officer disana.
            Aku bertemu salah seorang atasan, yang mempunyai beberapa kata-kata jawaban yang siap aku catat tuk dijadikan berita. Dia salah satu pendiri, karena rasa cintanya dengan kopi. Dari hobi, dan pertama kali mengenal kopi dari sosok Ayahnya yang setiap pagi selalu sarapan kopi. “Ayah saya yang menularkan saya inspirasi, hingga terjadilah sekarang. Tapi disini, saya sebagai pengelola juga mengeluarkan beberapa menu kopi yang berbeda dari lainnya. Kadang kopi dicampur rasa buah-buahan.” Ucapnya yang bernama Ferry. Suaranya yang serius, sosok dari matanya yang terlihat terbuka kepada seorang Jurnalis sepertiku yang sedang mendengar beberapa jawaban darinya dan mencatat.
            “Yang mereka suka dari kopi rasa buah-buahan apa, Pak?” tanyaku lanjut.
            Dia mengangguk, segera menjawabnya kembali. “Kopi bercampur aroma rasa Anggur. Saya selalu melihat beberapa tanggapan dari mereka, mereka bilang begitu unik, katanya. Hehehehe. Tapi bersyukur, dan mampu membuat saya lebih fokus kepada kopi bearoma buah. Tapi tak lupa juga, kopi yang benar-benar rasa kopi. Kalau buah, itu cuma selingan tapi harus ikut serius juga.”
            “Oke. Apa dari café ini sudah punya cabang?”
            “Belum. Baru disini. Mungkin, satu saya akan buka cabang di Bandung. Doakan saja.” Jawabnya tersenyum.
            Aku pergi dengan hormat, tak lupa memesan satu kopi lagi, kopi aroma buah-buahan. Aku memilih rasa Anggur. Tepat dimana masyarakat menilai rasa kopi itu sendiri. Tadinya, aku memesan kopi cokelat yang lebih full cokelatnya. Lumayan untuk meningkatkan gairah menulis berita, sebagai seorang pengganti dari teman sesame profesi. “Aku tinggal nulis berita dulu gak apa-apa, kan, ya?” tanyaku. Dia menggeleng. “Baguslah.” Aku tertawa sesingkat. Menunggu kopi aroma rasa Anggur datang ke mejaku. Melly diam, menatap handphone-nya di saat aku mulai menulis berita sekarang.
            “Karena seorang pekerja pahlawan harus menuruti masyarakat, kan?” katanya tiba-tiba saat tengah sibuk menulis. Aku diam. Tidak memandanginya. Malah mendengar apa yang diucapkan Melly tadi.
            Aku tertawa, menggeleng pelan. “Bisa aja.”
            “Emang bener, kan? Beberapa kali aku pernah bilang soal ini sama pekerjaan kamu. Pekerjaan mulia dan pahlawan bagi bangsa, kan?”
            “Iya, iya, deh. Makasih!” jawabku riang. Terus menulis hingga terkumpul lima halaman.
            Tak lupa mengambil beberapa objek didalam tempat ini. Aku memilih tuk mengambil gambar dari dalam suasana café. Suasana yang terlihat begitu nyaman dipandang. Atau jika kamu berimajinasi, imajinasi berputas melihat suasana ini seperti ingin kamu jadikan tempat tinggal saja. Yang setiap hari selalu bernuansa minuman kopi. Kopi aroma buah Anggur belum aku sesap. Aku menjawab “Iya” saat pesanan itu datang tanpa memandang pelayan karena aku sibuk sekali merangkai berita.
            “Kopinya tuh, gak di minum?” mata Melly menatap terus ke kopi yang ada di sebelahku.
            Aku langsung menanggapnya. “Aku lagi editing kata-kata dulu.” Ya, semua sudah rampung, aku langsung mengoreksi lewat dariku sebelum nantinya berpindah jalur lewat bagian editing. Aku menyicilnya, sebelum bagian editing yang akan membereskannya. Dan melihat-lihat rangkaian berita yang sudah kubuat tadi. Semuanya beres, dan semuanya telah rampung sesuai fakta dari lapangan. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Yusril, berkatnya, aku sekaligus menikmati liburanku bersama kopi.
            Kepalaku mulai kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Tulang-tulang leher berbunyi, lalu menyambung di pargelangan tangan. Jari-jariku, terutama. Hasil mengetik berita. Berita tentang café kopi yang mempunyai menu unik dipandang masyarakat. Juga dipandang bagiku. Kuambil cangkir putih yang belum aku sesap, sebuah kopi yang masih terlihat penuh. Lidahku bermain, ikut merasa. Lidah yang kumainkan didalam mulut, merasakan rasa kopi bercampur Anggur yang menjadi satu. Begitu enak. Dan benar, kopi ini yang selalu di nilai di mata masyarakat yang menyukainya.

Tulisan cerpen ini, dalam rangkaian acara kompetisi yang diselenggarakan oleh @Econochannel dengan hastag lomba #Great3rdCOMPETITIONFEUNJ dari Universitas Negeri Jakarta 2016.